RAMADAN, momen sekali dalam setahun yang sangat dinanti umat muslim di seluruh penjuru bumi. Bulan yang lebih baik dan indah dibanding 1000 bulan, bulan bertabur berkah serta ampunan. Di saat Ramadan, setiap orang menginginkan arah hidup yang makin baik, dalam artian persentase amalannya lebih banyak dan berkualitas dibanding bulan atau tahun sebelumnya.
Ini sifatnya naluriah dan fitrah, karena Ramadan menjadi momen perubahan diri dimaksud, menjadi pribadi yang makin baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT.
Ramadan sebagaimana maknanya bisa membakar segala dosa-dosa kita, meminta kita menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa seperti menahan mata, telinga, perkataan, menahan perut kita dari isi yang terlalu banyak. Sesuai kata Rasulullah SAW perut kita ini harusnya sepertiga berisi makanan, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga nafasnya. Tapi mungkin karena ada hubungannya dengan adat, tradisi kita, justru di bulan Ramadan malah habis-habisan, semua dikonsumsi, sehingga menjadi sangat konsumtif.
Perihal menjadi pribadi yang lapang dan bermanfaat di bulan Ramadan nan penuh berkah memang susah-susah gampang.
Pertanyaannya kini, sejauh mana puasa menjadi pengendali diri kita agar tak terjebak kehidupan hedonisme masa kini, mau serba di makan, mau serba baru, dan sebagainya.
Agama mengajarkan kita apabila hitungan puasanya sudah lengkap, setelah kita ditraining selama sebulan penuh, maka ditugaskan kepada kita Agungkan lah nama Allah SWT, dan harus ada perubahan sikap ke arah positif. Tapi kembali lagi kepada diri kita, karena justru setelah puasa sebulan dilampiaskan lagi dengan lebaran besar-besaran, semua serba baru, semua serba mewah. Bahkan ibadah juga lupa karena sibuk bertamu dan menerima tamu. Masjid sepi kembali.
Benar, bahwa dunia kita dipenuhi materi dan norma-norma hedonis, suatu sikap yang sangat mementingkan keduniawian. Dan kita pun sebagai manusia ada rasa tergoda.
Godaan ini pun semakin menjadi-jadi ketika media massa berada di garda terdepan mewartakan nilai konsumerisme. Sepanjang hari iklan produk berjejer di depan indera penglihatan kita, lalu lalang tiap detik dengan kemasan menarik, modelnya sebening kaca dengan lakunya yang menarik hati.
Konsumerisme pada akhirnya membuat kita semakin konsumtif dan kian intim dengan yang namanya hedonisme. Apalagi mendekati lebaran Idul Fitri, melihat tetangga beli motor baru rasa hati tidak karuan ingin membeli lagi motor baru meski harus berhutang, atau pakaian yang lama bahkan dianggap usang dan tak layak pakai sehingga mati-matian membeli pakaian baru demi untuk lebaran.
Belum lagi jika kita melihat bagaimana pusat-pusat jualan takjil selama Ramadan selalu diserbu demi memuaskan hasrat makan enak saat berbuka puasa.
Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus serta nafsu duniawi saja, lebih dari itu puasa adalah pit-stop dalam alur waktu setahun. Jika diselami lebih dalam akan tampaklah betapa Ramadan memberi kita oase, yang memberi kita waktu berharga mengenali diri, memberi semacam energi rukyah untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Puasa bisa jadi obat manjur mengobati penyakit konsumtif. Pengekangan hawa nafsu sebulan penuh itu menyadarkan kita untuk berfikir ulang mengenai ‘konsep hendak dibawa ke mana diri ini’.
Lalu setelah menjalani ujian Ramadan, apa yang mesti dilakukan seorang muslim sejati?
Jadi apabila kita sudah mulai mau merubah sesuatu yang jelek maka bulatkan tekad kita, bukan hanya perubahan fisik saja, namun yang utama perubahan perilaku kita, kita jadi lebih sabar, lebih rajin salat, jadi terbiasa sedekah, lebih peka secara sosial juga, sehingga nilai-nilai kehidupan kita, nilai-nilai ukhrowi kita bertambah bagus di mata Allah SWT.
Bila semua itu kita maknai dengan benar, niscaya hati menjadi tenteram, tutur kata menjadi semakin lembut dan bersahaja, dan membuat kita sadar bahwa hidup bukan di dunia saja.
Berlebih-lebihan dalam segala hal memang tak elok. Dan Ramadan hadir menjadi sebuah oase, membersihkan jiwa untuk mengantarkan kita menjadi pribadi yang makin baik dari tahun ke tahun, dari masa ke masa.